Lelaki Mirip Noordin Pernah Kunjungi Desa Sawarna
Lebak (ANTARA News) - Orang diduga mirip teroris Noordin M. Top yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pernah mengunjungi Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten.
"Saya kira foto yang disebar polisi sangat mirip sekali dengan orang yang pernah berkunjungi ke daerah ini," kata mantan Kepala Desa Sawarna, Erwin, di Rangkasbitung, Kamis.
Erwin mengaku bahwa pada 2008 dsikunjungi warga Malaysia bernama Muhamad Taufik Bin Rahmalan, warga Johor, Malaysia, dan mengajaknya berbisnis sale pisang untuk dibawa ke Tasikmalaya, Jawa Barat.
Pertemuan dengan orang Malaysia itu terjadi setelah temannya memperkenalkan Muhamad Taufik warga Malaysia.
Waktu itu, Erwin masih menjabat Kepala Desa Sawarna dan mencurigai keberadaan orang asing itu.
"Saya meminta identitas paspor kepadanya, dan fotonya mirip teroris Noordin M. Top," katanya.
Dia menyebutkan, foto itu hingga kini masih dipegangnya. Dalam foto itu, muka orang yang disangka Noordin itu bulat lonjong dengan rambut pendek, tidak berjanggut.
"Gambar foto ini saya akan laporkan ke polisi," ujar Erwin yang saat ini akan dilantik anggota DPRD Lebak dari Partai Demokrat.
Menurut dia, Desa Sawarna sering dikunjungi orang asing karena menjadi tujuan wisata pantai Samudera Hindia dan tempatnya terpencil sehingga cocok untuk menjadi tempat persembunyian.
---------------------------
Dewan Pers Minta RUU Rahasia Negara Ditunda
Jakarta (ANTARA News) - Dewan Pers meminta pemerintah menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara, karena sebagai besar pasal-pasal yang tercantum mengancam kebebasan pers."Bahkan beberapa pasal mengarah pada upaya pembredelan, jika terbukti melakukan pembocoran rahasia negara," kata Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Abdullah Alamudi di Jakarta, Kamis.
Dalam diskusi "RUU Rahasia Negara dan Masa Depan Kemerdekaan Pers Indonesia" yang dihadiri Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono itu ia mengatakan, dari 52 pasal itu sebagian besar mengancam proses demokrasi yang tengah berjalan untuk ditegakkan di negara ini.
"Jadi untuk apa dilanjutkan, toh UU lain sudah mengatur seperti Kebebasan Informasi Publik, dan UU Pers yang sudah mengatur bagaimana pers berperan dan berperilaku," ujarnya.
Hal yang sama diungkapkan anggota Dewan Pers Bambang Harymurti yang mengatakan, dari sudut sanksi yang diberikan juga cukup memberatkan perusahaan media mulai hukuman pidana lima tahun, pembredelan hingga hukuman mati.
Dikemukakannya dalam pasal 49 ayat 1 korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana rahasia negara dapat dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp50 miliar dan paling banyak Rp100 miliar.
Selanjutnya, tambah Bambang, korporasi termasuk di bidang media massa, yang melakukan tindak pidana rahasia negara akan mendapat pengawasan ketat, dibekukan, atau dicabut izin operasinya sebagai korporasi terlarang.
"Korporasi media mana yang dapat membayar denda sebesar Rp50 miliar kecuali korporasi media besar seperti `Kompas Gramedia Grup`, yang lainnya bagaimana?." ujarnya.
Ungkapan senada dilontarkan mantan ketua Dewan Pers Atmakuksumah yang menilai, keberadaan UU Rahasia Negara lebih pada `balas dendam` daripada unsur memberikan pendidikan kepada masyarakat.
"Para perancang undang-undang Rahasia Negara ini, lebih banyak mengedepan unsur balas dendamnya atas kebebasan pers yang dinilai sudah kebablasan..hingga menyinggung kepentingan tertentu," ungkapnya.
Keberadaan UU Rahasia Negara hanya menyebarkan ketakutan kepada pers, masyarakat agar berhati-hati untuk mengemukakan pendapat, analisa tentang hal-hal yang dianggap sebagai rahasia negara.
"Karena itu, lebih baik UU Rahasia Negara itu ditunda, dikaji kembali agar rumusan yang tercantum didalamnya sekadar menakut-nakuti, tidak mendidik bahkan mengakibatkan matinya sumber penghidupan rakyat, karena ada pembredelan, pencabutan izin korporasi dan lainnya,` ujar Atmakusumah. (*)
-----------------------
PBB Kecewa Penahanan Suu Kyi Diperpanjang
Markas Besar PBB, New York, (ANTARA News) - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan kekecewaannya atas perpanjangan penahanan 18 bulan terhadap tokoh demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi.
Kepala Kantor PBB urusan Hak Asasi Manusia, Navi Pillay, pada Rabu, mendukung seruan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon yang meminta agar Suu Kyi dibebaskan segera dan tanpa syarat.
Pada Selasa (11/8), pengadilan Myanmar menjatuhkan hukuman 18 bulan penahanan rumah bagi Suu Kyi karena ia dianggap bersalah melanggar peraturan keamanan.
"Saya menyesalkan penganiayaan terhadap pemimpin demokrasi terpilih, Aung San Suu Kyi, yang sudah berlangsung hampir seperempat abad," kata Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Navi Pillay.
Pillay menyatakan sangat kecewa terhadap penahanan dan dasar-dasar tuntutan sewenang-wenang yang dialami Suu Kyi dalam insiden yang menurut Pilay jelas-jelas hal itu di luar kekuasaan Suu Kyi.
Suu Kyi dituduh bertanggung jawab dalam kasus masuknya seorang warga negara Amerika Serikat tak diundang ke kediamannya di Yangon, tempat ia menjalani tahanan rumah.
Sebelum mendapat tambahan masa tahanan 18 bulan, pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan peraih hadiah Nobel Perdamaian itu telah menjalani penahanan selama 12 tahun di kediamannya.
Pada Selasa, Sekjen PBB Ban Ki-moon mendesak Myanmar untuk segera membebaskan Suu Kyi tanpa syarat.
"Sekretaris Jenderal sangat kecewa atas putusan pengadilan menyangkut Daw Aung San Suu Kyi," kata Ban Ki-moon seperti dikutip juru bicaranya di Markas Besar PBB, New York.
Ban juga meminta Pemerintah Myanmar untuk merangkul Suu Kyi sebagai mitra penting dalam proses dialog dan rekonsiliasi nasional.
Menurut Sekjen PBB, melibatkan Suu Kyi dan semua tahanan politik di Myanmar sebagai hal yang sangat penting bagi pemerintah Myanmar untuk membuktikan kepada dunia bahwa pemilihan umum yang akan digelar Myanmar memiliki kredibilitas.
Ban Ki-moon sendiri saat melakukan kunjungan ke Myanmar pada Juli lalu, harus menelan pil pahit -- permintaanya untuk bertemu dengan Suu Kyi ditolak oleh junta militer Myanmar.(*)
Kepala Kantor PBB urusan Hak Asasi Manusia, Navi Pillay, pada Rabu, mendukung seruan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon yang meminta agar Suu Kyi dibebaskan segera dan tanpa syarat.
Pada Selasa (11/8), pengadilan Myanmar menjatuhkan hukuman 18 bulan penahanan rumah bagi Suu Kyi karena ia dianggap bersalah melanggar peraturan keamanan.
"Saya menyesalkan penganiayaan terhadap pemimpin demokrasi terpilih, Aung San Suu Kyi, yang sudah berlangsung hampir seperempat abad," kata Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Navi Pillay.
Pillay menyatakan sangat kecewa terhadap penahanan dan dasar-dasar tuntutan sewenang-wenang yang dialami Suu Kyi dalam insiden yang menurut Pilay jelas-jelas hal itu di luar kekuasaan Suu Kyi.
Suu Kyi dituduh bertanggung jawab dalam kasus masuknya seorang warga negara Amerika Serikat tak diundang ke kediamannya di Yangon, tempat ia menjalani tahanan rumah.
Sebelum mendapat tambahan masa tahanan 18 bulan, pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan peraih hadiah Nobel Perdamaian itu telah menjalani penahanan selama 12 tahun di kediamannya.
Pada Selasa, Sekjen PBB Ban Ki-moon mendesak Myanmar untuk segera membebaskan Suu Kyi tanpa syarat.
"Sekretaris Jenderal sangat kecewa atas putusan pengadilan menyangkut Daw Aung San Suu Kyi," kata Ban Ki-moon seperti dikutip juru bicaranya di Markas Besar PBB, New York.
Ban juga meminta Pemerintah Myanmar untuk merangkul Suu Kyi sebagai mitra penting dalam proses dialog dan rekonsiliasi nasional.
Menurut Sekjen PBB, melibatkan Suu Kyi dan semua tahanan politik di Myanmar sebagai hal yang sangat penting bagi pemerintah Myanmar untuk membuktikan kepada dunia bahwa pemilihan umum yang akan digelar Myanmar memiliki kredibilitas.
Ban Ki-moon sendiri saat melakukan kunjungan ke Myanmar pada Juli lalu, harus menelan pil pahit -- permintaanya untuk bertemu dengan Suu Kyi ditolak oleh junta militer Myanmar.(*)
(Berita ini diambil dari ANTARA, Indonesia, 13 Ogos, 2009)
No response to “BERITA LUAR NEGARA”
Post a Comment